Pengalaman Saat Melamar Beasiswa BUDI


Kastil yang berdiri megah di kota Kanazawa
Kastil yang berdiri megah di kota Kanazawa

Setelah digempur oleh banyak aktivitas dan keriweuhan mengurusi keberangkatan ke kampus baru hingga adaptasi lingkungan baru di Kanazawa, akhirnya ada waktu “membayar hutang” kepada rekan-rekan dosen di Tel-U untuk menceritakan bagaimana proses mendapatkan professor untuk studi doktoral hingga mendapatkan beasiswa. Sebenarnya ada banyak cara untuk bisa mendapatkan beasiswa studi doktoral di luar negeri, salah satunya pernah saya bagikan di sini, tapi kali ini saya hanya akan melengkapi bahasan yang telah banyak beredar dengan menceritakan pengalaman saya mendapatkan Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI-LN). Karena rentang waktu yang panjang (berbulan-bulan) dan ruwetnya kegalauan hati semasa menjalani proses pencarian beasiswa, maka saya tidak akan mendongeng hingga berbusa-busa, tapi saya akan langsung to the point agar tulisan ini tidak terlalu panjang dan malah bikin bosan para fans pembaca setanah air. So, langsung saja kita baca berikut ini…

    • Menghubungi professor yang potensial untuk menjadi supervisor

Pada fase ini saya berasumsi para pembaca telah memiliki dokumen
– sertifikasi bahasa Inggris (IELTS min 6.0 utk wilayah tujuan Asia atau 6.5 untuk Eropa, Australia, dan Amerika),
– membuat CV yang menarik (jika belum ada bisa melihat contoh berikut),
– ijazah dan transkrip nilai kuliah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, serta
– cover letter sebagai email pembuka untuk memulai berkomunikasi dengan prof tersebut.
Ke semua dokumen tersebut dilampirkan dalam attachment kecuali cover letter yang dijadikan isi dari email. Kemudian segera kirimkan email beserta attachment tersebut dengan memperhatikan waktu yang tepat. Jangan dikirim saat menjelang akhir pekan, karena kesempatan membuka email di luar jam kerja cukup kecil dan bisa jadi ketumpuk dengan puluhan email lain yang masuk ke inbox sehingga email yang dikirim malah tidak terbaca dan tidak direspon.

Namun, mungkin ada beberapa calon awardee yang belum punya IELTS karena masih ragu untuk ikut tes yang lumayan mahal dan tetap memaksakan untuk memulai komunikasi dengan prof di kampus yang dipilih. Kalau menurut pengalaman teman-teman yang lain sebenarnya boleh dan bisa saja, tapi pada akhirnya kan tetap harus mengumpulkan dokumen tersebut untuk proses registrasi beasiswa. Lagipula, dengan melengkapi IELTS pada email yang pertama kali dikirmkan akan membuat prof berpikir positif bahwa orang tersebut telah menyiapkan banyak hal dan bersungguh-sungguh untuk belajar pada program doktoral.

 

    • Gunakan bahasa yang baik dalam berkomunikasi

Mungkin poin ini terlihat sepele, tapi para pembaca perlu mempertimbangkan matang-matang diksi dan kesopanan kalimat yang akan disampaikan sebelum mengirim email, karena dua hal tersebut dapat menjadi catatan bagi prof yang akan dituju. Sebagaimana diketahui bersama, studi doktoral mewajibkan mahasiswanya untuk mempublikasikan riset pada suatu jurnal Internasional terakreditasi. Nah, bagaimana prof akan menerima jika dalam berkomunikasi via email ternyata bahasa yang digunakan masih setingkat bahasa anak SMA atau bahkan anak SMP? Jika ada kesempatan, saya akan coba sedikit bahas isu ini dalam tulisan saya selanjutnya.

Melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan untuk seleksi administrasi di kampus yang dituju
Setelah berkomunikasi dengan prof, biasanya langkah selanjutnya adalah mengikuti seleksi administratif graduate admission di kampus tersebut. Dalam proses ini, kampus akan melakukan seleksi calon mahasiswa mana kah yang layak untuk diterima berdasarkan dokumen yang dikumpulkan serta pendapat para prof yang akan menjadi advisor. Tentunya ketika para pembaca telah menghubungi prof sebelumnya dan disetujui rencana risetnya, maka proses ini tidak akan terlalu menyusahkan, karena staf administrasi di fakultas dan international office hanya akan mengiyakan apa yang sudah dititahkan oleh prof terkait siapa yang akan dibimbingnya. Dan, jika diperlukan ada wawancara, maka hal itu akan terasa seperti formalitas belaka. Jadi, kalau bisa, para pembaca sudah mendapatkan restu prof sebelum mendaftarkan diri pada proses ini, walaupun sesi komunikasi dengan prof dan proses administrasi juga bisa berjalan beriringan.

Apa yang menjadi output dari proses ini? LoA… bapak/ibu sekalian. Yang tentu saja akan digunakan dalam proses mendaftarkan diri pada program beasiswa BUDI / LPDP / Rispro / atau yang lainnya.

 

    • Melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan untuk seleksi administrasi BUDI

Nah, boleh dibilang berdasarkan pengalaman kemarin, fase ini dan selanjutnya adalah fase yang cukup emosional. Jika di langkah-langkah sebelumnya para pembaca akan berurusan dengan orang luar yang agak terbatas dalam berkomunikasi dan cenderung sifatnya pasti (ya / tidak), maka di fase ini para pembaca akan dihadapkan pada orang dalam baik di fakultas, kampus, maupun Dikti/Kopertis. Banyak hal terkait birokrasi yang akan dihadapi, baik itu soal administrasi, simpang-siurnya informasi, serta mungkin “conflict of interest”. Apapun yang terjadi, saya cuma bisa memberi saran untuk selalu sabar menghadapi semua cobaan yang akan dihadapi, berikhtiar sekuat tenaga, bergerak secepat kilat, serta beramal seikhlasnya.

 

    • Wawancara

Apabila kita bisa lolos seleksi dokumen, maka tugas terakhir kita adalah meyakinkan para interviewer untuk meloloskan kita. Berdasarkan pengalaman kemarin, ada tiga topik yang diangkat menjadi bahan pertanyaan yang kesemuanya HARUS DIJAWAB DALAM BAHASA INGGRIS. So, we are expected not only to answer in English, but also convince the interviewer by using our speaking skill. What a great day.. Ya mungkin seperti itu yang akan kita rasakan. Selepas wawancara, ada yang stress dan hampir nangis karena saking tertekan tidak bisa menjawab dengan lancar dan benar. Ada pula yang tertawa pasrah, nah kalo sudah gini, ya mau gimana lagi, mesti banyak-banyak berdoa agar dilancarkan segala hajat kita.

Apa saja topik yang mesti dijawab? Kurang lebih kita perlu meyakinkan soal Keluarga (terkait bawa keluarga, bagaimana saat living cost lebih dari / hampir sama dengan living allowance yang diberikan, special case untuk ibu-ibu bagaimana kah posisi suami dan anak-anak ketika ditinggal kuliah,dll), soal Topik Riset (apa yang akan dikerjakan, bagaimanakah kesesuaian track record prof dgn topik riset, mengapa memilih kuliah di sana ketimbang di kampus Indonesia, dll), serta soal Pembiayaan Saat “Harus Kuliah Lebih Lama” (apa yang dilakukan saat tidak ada beasiswa tambahan, adakah lembaga lain yang siap membantu keuangan, dll). Salah dalam menjawab tentu saja akan berakibat berkurangnya nilai wawancara yang eksesnya adalah gagal lolos pada tahap ini. Salah satu rekan kerja saya yang wawancara bareng saat itu gagal berangkat karena terganjal isu keluarga. Padahal, pertanyaan lainnya terkait riset bisa dijawab dengan baik dan meyakinkan. Oleh karena itu, persiapkan juga dengan matang seleksi ini, karena LoA unconditional dan nilai IELTS bukan jaminan untuk bisa lolos seleksi beasiswa.

Mungkin itu yang bisa saya bagikan, apabila ada yang ingin didiskusikan, mungkin bisa tanya ke Dikti / LPDP. *eh

Akhir kata, semoga dilancarkan dan dimudahkan dalam proses pencarian beasiswa.


Leave a Reply