Mitos dan Jargon yang Keliru dalam Perkuliahan


Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin memberi sedikit gambaran besar mengenai artikel ini. Kalau boleh jujur, berdasarkan pengamatan saya pribadi terhadap kehidupan mahasiswa, tidak jarang saya temui fenomena mahasiswa yang tidak sadar di mana posisi dia berpijak dan akan berjalan ke mana, sebut saja bahasa kerennya “disorientasi” hidup. Tidak perlu jauh-jauh bicara soal kondisi politik dan ekonomi bangsa yang njelimet, urusan besok lulus mau kerja apa dan ingin gaji berapa saja susah menilai.

Okelah kita tidak bisa menentukan takdir kita nanti menjadi apa dan akan mendapat rezeki bekerja di mana? Tapi setidaknya kita harus mampu menentukan tujuan kita dan membagi misi-misi kecil untuk mendapatkan tujuan besar kita. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum suatu kaum berusaha mengubahnya?

Salah satu faktor kenapa mahasiswa bisa mengalami disorientasi di kampus adalah karena mempercayai jargon atau mitos yang keliru. Mengambil kata-kata Cak Lontong, survey membuktikan bahwa setidaknya mahasiswa baru akan mendengar setidaknya satu mitos atau jargon yang keliru dalam masa perkuliahan mereka. Bisa jadi jargon atau mitos tersebut benar tapi jika konteks dan kondisi pelakunya tidak mendukung ya tentu saja bisa jadi blunder buat masa depan pelaku. Berikut contoh-contoh yang mungkin seringkali ditemui dengan redaksi yang mungkin mirip atau sedikit dimodifikasi.

Mahasiwa tidak boleh hanya berkuliah saja, mereka harus berorganisasi juga untuk melatih softskill.

Sekilas itu terlihat seperti jargon yang menawarkan konsep mahasisiswa yang paripurna karena memiliki hard skill dan soft skill. Namun apakah pembaca sadar bahwa dalam perkuliahan (sks mata kuliah), mahasiswa juga dilatih soft skillnya seperti dalam kerja kelompok di beberapa mata kuliah, kerja praktik, dan tugas akhir. Dalam kegiatan tersebut, setidaknya mahasiswa akan dirangsang soft skillnya dalam hal berkomunikasi secara aktif/proaktif, sopan, santun dan efektif. Mahasiswa juga dituntut untuk bekerja sama dengan berbagai entitas dan mengatur waktunya dengan baik jika ingin sukses dalam menyelesaikan tugas akhir, kerja praktik, ataupun tugas besar mata kuliah.

Soft skill lebih penting dari hard skill dalam dunia kerja.

Melanjutkan jargon sebelumnya, mitos ini seringkali menjadi “pembenaran” bagi aktivis mahasiswa agar semakin betah berorganisasi dan gak segan meninggalkan kuliah jika harus dihadapkan pada pilihan kuliah atau kegiatan kemahasiswaan. Kalau kita mau jujur, mitos itu tak sepenuhnya benar tergantung jenis pekerjaannya apa. Ada tipe-tipe kerjaan yang lebih banyak memerlukan hard skill ketimbang soft skill, misalkan programmer, web developer, dokter bedah, dll. Ambil saja kasus ekstrim misalkan ketika harus dioperasi apakah kita mau dioperasi oleh dokter yg lebih jago berkomunikasi tapi minim hard skill? Tentu saja kita pasti ragu dan bahkan menolak dokter tersebut. Maka jangan mau Anda diperdaya oleh jargon tersebut jika target pekerjaan Anda setelah sukses lebih banyak mengandalkan hard skill ketimbang soft skill.

Yang terpenting bukan lulus tepat waktu (atau lulus lebih cepat), tapi lulus pada waktu yang tepat.

Jargon ini cukup populer di kalangan mahasiswa yang belum berhasil lulus tepat waktu sebagai kata-kata motivasi dan penyemangat. Namun jika kata-kata ini diberikan kepada mahasiswa yg masih kuliah di semester awal-awal (apalagi yang masih polos) akan menjadi blunder karena mereka berpikir bahwa “waktu yang tepat” adalah “given” bukan “taken”. Sebisa mungkin para mahasiswa harus lulus tepat waktu karena ada dua hal penting yang akan dikorbankan jika gagal lulus tepat waktu, yakni uang (biaya kuliah) dan waktu. Tentu saja mahasiswa yang gagal tepat waktu harus membayar lagi biaya kuliah untuk semester ke-9 dan seterusnya. Tak hanya itu, mereka juga akan rugi dari segi waktu, yakni terlambat dalam merintis karir dan menikah. Yang terpenting, dengan lulus tepat waktu akan membuat orang tua bangga dengan prestasi para mahasiswa sekalian dan sekaligus akan sedikit mengangkat beban hidup para orang tua. Tapi Ini bukan berarti yang lulus terlambat “lebih hina” karena kembali lagi soal rezeki siapa yang tahu?

Kuliahlah untuk mencari ilmu bukan nilai.

Saya pribadi setuju dengan jargon ini, namun kita perlu pahami bahwa perusahaan berpikir secara pragmatis bahwa pemahaman dan ilmu yang dikuasai oleh mahasiswa diukur dengan quiz, UTS, UAS, dan lainnya yang muaranya adalah nilai. Maka jangan salahkan jargon tersebut jika nanti susah mendapat kerja karena IPK kurang bagus tapi “merasa” lebih berilmu dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang IPK-nya lebih tinggi. Tak hanya dalam hal pekerjaan, untuk melanjutkan perkuliahan ke jenjang master biasanya diperlukan IPK yang nilainya yang cukup tinggi, misalnya minimal IPK 3.00, bahkan mungkin lebih tinggi lagi untuk program studi tertentu dan kampus tertentu apalagi jika ingin kuliahnya dibiayai oleh beasiswa. Menurut saya, yang tepat adalah dapatkan nilai yang tinggi dengan belajar yang sungguh-sungguh, dan jika “merasa” belum mendapatkan ilmu dari mata kuliah tersebut, jangan segan untuk mengulanginya (ambil mata kuliah itu lagi atau mempelajarinya lagi sendiri)

Mahasiswa harus peduli dengan kondisi masyarakat dan paham dengan kondisi perpolitikan bangsa.

Jargon yang sejenis ini biasanya terlontar dari aktivis mahasiswa yang bergerak di organisasi dengan genre sosial-politik baik internal maupun eksternal kampus. Menurut saya pribadi jargon ini baik jika ditempatkan pada porsi yang pas. Namun jika mahasiswa teknik terjebak pada topik diskusi politik dan melupakan “keteknikannya” maka ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Ingat bangsa ini tidak hanya membutuhkan politisi tapi juga teknokrat yang menguasai bidangnya dengan baik untuk membangun teknologi dan masyarakat. Jangan berharap kita bisa memproduksi teknologi dan produk unggul jika mahasiswa teknik yang kelak menggantikan generasi tua saat ini lebih suka bicara isu politik ketimbang isu teknologi dan riset pemutakhiran ilmu keteknikan.

Setelah memberi beberapa contoh di atas, saya ingin menyimpulkan artikel ini, yakni mahasiswa perlu memahami apa tujuan perkuliahannya terkait dengan karir yang akan dijalani di masa depannya. Apakah kelak merintis karir yang lebih banyak membutuhkan hard skill, soft skill, ataupun keduanya? Jangan mudah terpengaruh oleh kata-kata “mutiara” dari senior ataupun dosen sebelum memahami dulu konteks dan kondisi yang mensyaratkan kata-kata tersebut.

Terakhir, jangan sia-siakan kesempatan kuliah ini dan raup ilmu sebanyak-banyaknya. Apapun peran yang akan diambil dan konsekuensinya dalam perkuliahan, yakinlah itu peran yang akan bermanfaat bagi diri dan masyarakat kelak.


Leave a Reply